Selasa, 17 Mei 2011

Older means wiser

Namanya kita sebagai mahluk sosial, tentu kita harus menghadapi berbagai macam orang, dengan berbagai macam latar belakang keluarga yang berbeda beda.

Saya yakin, bahwa setiap keluarga membesarkan anak-anaknya dengan bekal sopan santun. Misalnya, hal-hal sederhana saja dari “terima kasih” atau “apa kabar?”. Setelah kita dewasa ternyata sopan santun itu tidak saja soal mengucapkan “terima kasih” atau “apa kabar?”, tetapi meluas mengenai bagaimana menjaga perasaan orang lain.

Sebagai contoh, ketika kita sudah dewasa dan kenal dengan yang namanya uang, ternyata topik ini benar-benar topik yanng sensitif. Menanyakan kepada teman kita, berapa gaji/penghasilan mereka misalnya. Walaupun sekadar informasi berapa besar penghasilan profesi teman kita itu, Saya kadang heran, ini sopan atau tidak?

Lalu, kalau kita misalnya sedang banyak uang, sedangkan teman kita sedang bokek. Kalau kita mau membeli barang yang kebetulan mahal harganya, apakah sopan jika kita lakukan di depan teman kita, yang kita sudah tahu kalau dia sedang tidak punya uang?

Dan sebaliknya, apakah ini ide yang baik, semisal kalau kita sedang tidak punya uang, lalu kita meminjam uang kepada teman kita? Saya sering dengar nasihat, “Jangan pinjamkan uang kepada teman, karena gara-gara uang persahabatan bisa jadi masalah!” Ini terjadi pada teman saya yang baik hati dan keras kepala. Dia tetap meminjamkan uang kepada sahabatnya. Suatu hari, mereka jalan-jalan di ma. Sahabatnya yang berutang padanya, membeli sebuah tas yang cukup mahal harganya. Teman saya berpikir, “Lho, bukannya kamu masih utang kepada saya? Bukankah kamu harusnya lunasi dulu utangmu, baru kamu belanja?”

Saya tanya kepada teman saya, “Apakah kamu memerlukan uang itu segera untuk dipakai keperluan yang penting?” Lalu, teman saya itu menjawab , bahwa tentu dia belum memerlukan uang itu, dan kalau ia tahu ia dalam posisi tidak bisa meminjamkan uang, tentu ia tidak akan berani meminjamkan. Tetapi masalahnya, bukan soal teman saya ini perlu uang yang dipinjamkan atau tidak. Namun, ini soal mana yang sopan, mana yang benar, dan mana yang salah.

Apakah karena dia tidak sedang memerlukan uang maka sahabatnya yang berutang tidak usah buru-buru melunasi, sehingga bisa mendahulukan membeli tas daripada melunasi utang?

Contoh lain adalah sopan santun soal titip-menitip. Kalau kita kebetulan pergi ke luar negeri, dan ada teman yang mau menitip barang kepada kita, apakah sopan bila misalnya barang titipannya berat, lalu besar dan makan tempat separuh dari koper kita? Atau, apakah sopan kalau barang yang dititipkannya kepada kita itu bisa di dapatkan di Jakarta, tetapi alasan menitip adalah karena di negeri yang mau kita kunjungi harganya lebih murah? Apakah sopan kalau kita berhermat dengan harga tetapi dengan menyusahkan teman kita?

Untuk semua pertanyaan yang saya timbulkan di atas, saya benar-benar tidak tahu jawabannya. Sehingga, untuk amannya saya usahakan bagaimana cara untuk tidak pinjam uang kepada teman, dan kalau bisa tidak titip barang-barang yang mana saya bisa dapatkan di sini. Karena, bagi setiap orang mana yang sopan dan tidak sopan ternyata beda-beda.

Teman saya ada yang rela dititipi vitamin yang kemasannya gelas dari Singapura, walaupun vitamin itu ada di Hero, tetapi harganya beda Rp 25.000 lebih mahal. Tetapi, ada juga teman saya yang, walaupun mau, tetapi ngomel-ngomel di belakang. Dan, ada juga yang dengan diplomatis bilang, “OK“ lantas pura-pura lupa beli. Apakah benar atau salah berjanji akan membelikan, tetapi tidak dilakukan?

Lalu, soal arisan misalnya, apakah sopan kalau kita sudah “narik”, lalu pada acara-acara berikutnya kita tidak perlu datang lagi? Dan bahkan kita lupa bayar setoran arisan? Lalu, apakah sopan kalau soal jemput-menjemput, tebeng-menebeng, tetapi tidak mau patungan membeli bensin?

Apakah sopan kalau kita membanggakan karier dan kesuksesan kita di depan teman yang baru saja kena PHK? Apakah sopan kalau kita hanya hadir di undangan orang kaya dan tidak datang kalau yang mengundang kita bukan orang berada?

Apakah sopan kalau teman kita menanyakan pendapat soal apakah karyanya bagus atau tidak, lalu dijawab dengan jujur bahwa karyanya adalah karya pas-pasan, atau lebih sopan kalau kita berbohong ‘putih’ (white lies) bahwa karyanya bagus? Atau, ketika teman kita tanya pendapat kita apakah dia gemuk, baju dia bagus atau tidak, mana yang benar…? Bilang jujur apa adanya, walaupun jawaban jujurnya tentu tidak enak diterima, atau lebih benar kalau kita gunakan semua “white lies” kita?

Apakah sopan kalau kita terlambat satu jam lebih ketika sudah sama-sama buat janji di suatu jam yang sama? Apakah sopan kalau ketika makan bersama, walau kita pesan tiga macam makanan dan teman kita hanya pesan secangkir kopi, lalu kita minta bonnya dibagi dua?

Apakah sopan kalau karena kita pikir kita lebih kebelet pipis, maka kita menyerobot antrian di kamar mandi? Apakah sopan kalau kita ke salon dan tidak memberi tip? Apakah sopan kalau seorang pria ketika bicara dengan wanita bukan melihat matanya, tetapi menatap dadanya? Apakah sopan kalau kita nonton di bioskop, lalu kita mengobrol dengan handphone? Apakah sopan kalau lawan bicara kita sedang menjelaskan sesuatu kepada kita, lalu ketika handphone berbunyi tanpa basa-basi kita angkat handphone kita sehingga memotong pembicaraan lawan bicara kita?

Apakah sopan kalau kita sebenarnya saling kenal, tetapi karena lupa namanya kita pura-pura tidak lihat? Apakah sopan kalau kita bergosip? Apakah sopan kalau kita menerima kado yang tidak kita sukai, lalu kado itu dibungkus ulang untuk diberikan kepada orang lain yang berulang tahun?

Ternyata, soal sopan dan tidak sopan, having common decency atau manners itu tidak semua orang tua bisa ajarkan kepada kita. Di sepanjang hidup kita, akhirnya kita harus pakai kompas pengalaman seberanjaknya kita bertambah usia. Katanya, older means wiser, maksudnya semakin tua umur kita semakin dewasa. Tetapi, apakah paket dewasa itu isinya ada sopan santun, sensitivitas dalam menjaga perasaan orang lain, dan kebijaksanaan?

Tidak ada komentar: