Selasa, 17 Mei 2011

ANOMALI PRESPEKTIF

Selalu menarik ketika ketika jari ini menari-nari di atas huruf-huruf notebook untuk sekedar berwacana perihal prespektif.Dimata saya, perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat, menilai sesuatu. Akibatnya, filsafat kebenaran dari perspektif sangat bergantung pada alat ukur dalam menilai prespektif itu sendiri.
Saya mencoba mendalami definisi perspektif di WikiEnglish yang kemudian muncul definisinya prespektif sebagai “one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related experience of the narrator”.
Alur pikIr saya mencoba menafsir bahwa karena perspektiflah yang mendasari opini. Dan opini punya pengaruh besar membentuk pola pikir. Dan ujung-ujungnya, mampu membentuk jadi diri. Entah itu pribadi, sekelompok orang, bahkan sampai ke level yang lebih besar.
Menurut hemat saya, umumnya, terutama dipikiran orang yang berada di lingkaran tertentu dan berada di level mayoritas, berpendapat yang berbeda dari opini umum yang berlaku adalah anomali. Para anomali ini bisa dianggap telah menabrak dinding nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Para anomali dapat diaktorkan secara umum seolah-olah tengah menjadi maling yang hidup dilingkungan para kiai, atau bisa jadi malah sebaliknya. Itulah seorang anomali.
Ada resiko yang tengah dijalankan seorang anomali. Negara ini katanya memang negara hukum. Tapi sepertinya hokum pun ternyata tidak ansih dan tetap saja bisa diperspektifkan. Mungkin benar negara ini adalah negara hukum. Hukum opini. Hukum kekuasaan. Atas nama kebenaran. Entah kebenaran siapa. Entah kebenaran yang mana. Semoga saya salah.
Menilik kenyataan sejarah yang merupakan suatu ironi, hampir mayoritas tokoh-tokoh legendaris, sangat dekat dengan ke-anomali-an. Lihat saja nasib seorang Soekarno, Soeharto, dan tokoh-tokoh besar lainnya.Ketika kemudian diantara mereka lalu kecele dan menyeleweng dari mainstream yang telah ia bawa, relatif itu terjadi ketika ia terlalu lama dalam mainstream itu sendiri. Lupa bahwa ia dulu juga seorang pembaharu, yang jika ia sendiri tak terbaharukan, maka ialah yang akan jadi tumbal. Posisi status quo, terlalu lama di confort zone-lah yang menyebabkan ia hancur (setidaknya bagi yang menganggap mereka hancur). Sedangkan orang-orang yang konsisten menerima pertumbuhan alam semesta, harum namanya diakhir hayatnya.
Kecerdasan itu dekat dengan kegilaan. Sebuah kalimat yang sering saya dengar. Jangan-jangan Muhammad saw pun pada saat di utus oleh Tuhan di masyarakat Quraisy, dia juga dianggap anomali saat itu, sama halnya dengan nabi-nabi sebelum beliau dimasanya masing-masing. Namun Rasulullah secara konsisten menyampaikan pesan-pesan Tuhan bagi kebaikan semesta alam.
Sangatlah disayangkan, banyak orang tidak siap dengan perubahan. Tidak banyak orang yang siap dengan perbedaan. Lebih banyak orang nyaman pada confort zonenya. Pada pembawa perubahan sering menjadi musuh bagi masyarakat saat itu. Seorang yang berbeda memiliki resiko dalam hidupnya. Disisihkan, dibenci, bahkan bisa ditinggal oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang lebih sering lagi, berperang dengan dirinya sendiri, untuk konsisten atau mengikuti pendapat mayoritas. Tidak semua orang kuat menjadi seperti itu. Semoga para pembaharu diberi kekuatan dan konsistensi. Namun tetap membuka mata, membuka telinga agar pembaharuan yang dibawa tidak menjadi racun yang membunuhnya sendiri. Agar dia tidak mati oleh nilai yang dia bawa sendiri. Terjebak dalam pembenaran-pembenarannya sendiri.
Akhirnya, silahkan beropini, dengan perspektif masing-masing tentunya…

2 komentar:

ucon mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
ucon mengatakan...

bapak, confort apa comfort?