Selasa, 17 Mei 2011

Koh Aciong Vs Bejo.....Modern Vs Tradisional....

Mungkin karena belakangan semakin ruwetnya pekerjaan kantor sehingga makin bingung untuk mengikutinya, menghasilkan saya yangpada akhirnya hanya menjadi pengangguran tak kentara, dari pada manyun ga jelas....jari ini mulai menuntun untuk menari di atas keybord PC kantor ini. Sekedar mencermati pergumulan dan carut marut realita hidup yang makin semriwing....Sebuah cerita buah kontemplasi untuk para sahabat...

Pagi yang cerah, di-workshop-nya yang sederhana, Bejo seorang diri, dengan riang, sedang membuat gentong dari tanah liat. Ukuran gentongnya cukup besar, bisa digunakan untuk penampungan air atau untuk menyimpan beras, sekitar 10 literan, untuk waktu lumayan lama. Seharian kerja demikian,
Bejo paling banyak mampu membuat 3 sampai 4 gentong. Dihitung-hitung, untuk hidup sederhana dengan istri dan satu anaknya yang masih kecil, ya cukuplah.
Hari itu selepas tengah hari, Bejo sedang santai, istirahat, tentu sambil menikmati asap kretek kesukaannyanya. Datanglah Koh Aciong dengan mobil bak-nya. Sudah lama Koh Aciong ini customer setia Bejo. Koh Aciong punya toko di pasar desa. Di toko inilah gentong karya Bejo dijejer, ber-parade, dipajang untuk menarik minat ibu-ibu rumah tangga yang tengah belanja di pasar.
Pada saat transaksi jual-beli antara Koh Aciong dan Bejo, terjadilah dialog menarik antara keduanya.
“Jo, hari ini saya hanya bisa beli 4 gentong kamu yang sudah jadi. Gentong lainnya kan masih basah!”
“Ya ga apa-apa Koh! Hanya itu yang sudah siap koq.”
“Kang, kenapa ga bikin gentong lebih banyak lagi? Belakangan lagi bagus nih pasarannya.”
“Ah, untuk apa Koh bikin banyak-banyak? Saya kan lebih nikmat bikinnya jika sambil dihayati…karena saya lebih menikmati pekerjaannya ketimbang hasil akhirnya.”
“Jo, kamu ini gimana sih! Kalo kamu bisa bikin banyak, kan bisa jual banyak juga. Nantinya kamu dapat uang lebih banyak kan!”
“Terus, nanti uang-nya untuk apa Koh?”, kata Bejo yang mulai bingung kemana arah pembicaraan Koh Aciong kali ini.
“Nanti uangnya Bejo kumpulin, terus kan Bejo bisa investasi, bangun pabrik, pekerjakan banyak orang, menggaji staff, masuk deh Bejo ke era produksi massal.”
“Untuk apa semua itu Koh?”, Bejo tambah bingung.
“Ya jelas dong…Bejo kan bisa memperluas usaha, ya akhirnya bisa mendapat lebih banyak untung…”
“Terus…?”
“Ya terus kalo semua sudah dijalankan orang lain yang bekerja untuk Bejo, Bejo kan tinggal enak…Bejo kan bisa santai!”
Bejo tertegun dengan provokasi Koh Aciong kali ini. Tapi dengan lirih Bejo berkata,
“Ah Koh, untuk apa repot-repot begitu. Toh sekarang aja saya sudah bisa santai gini koq…”
“Dasar…otak bebal…”, Cuma itu terucap dalam hati Koh Aciong.

Dialog imajiner diatas hanya gambaran sederhana dari dua masa yang sekarang kita alami bersamaan. Kita sedang gamang apakah akan mengikuti pola “modern” (seperti Koh Aciong) ataukah pola “tradisional” (seperti Bejo). Pola pertama demikian mantap terus maju melesat, mengejar pertumbuhan, meng-eksplorasi alam dan sumber daya dengan kecepatan tinggi bak mobil Formula 1 di sirkuit balap, dengan sedikit mempertimbangkan keterbatasan alam. Sedang pola kedua seakan ingin kembali kepada ke-syahdu-an hidup, berkarya dengan hati, bersatu dengan alam dan lingkungan.
Kita harus memilih salah satu diantara keduanya atau dengan bijak kita menciptakan pilihan ketiga, yaitu berupaya keras melakukan sintesa antara keduanya?
Setiap pilihan yang diambil, tentu ada resikonya. Akan tetapi tetap kita masih mempunyai kuasa karena pilihan ada ditangan kita…tentu dengan memperhatikan kemaslahatan anak-cucu kita di masa datang…

1 komentar:

ucon mengatakan...

ini tu, seperti milih pasar tradisional atau pasar moderen, iya kan pak