JIKA sekali waktu njajah desa milang kori ke pelosok melihat dari dekat kehidupan wong cilik, banyak hal yang akan membuat kita trenyuh. Meskipun tanah Jawa sudah menangi rejaning jaman, ternyata banyak nasib mereka yang belum berubah. Hidupnya tetap sederhana. Puluhan tahun jadi tani-utun, buruh nggarap sawah orang lain di desanya. Rumahnya pun masih rumah kayu warisan orang tua. Hanya, hidupnya kelihatan santai, damai, dan bahagia. Tidak kemrungsung. Pagi sebelum ke sawah ngurusi perkutut klangenan-nya lebih dulu. Menambah ketan hitam, mengganti air minumnya, kemudian menggantungkan sangkarnya di teritis. Sudah itu menikmati teh nasgithel di beranda. Nyamikannya ubi rebus. Sambil mengisap rokok tingwe, sesekali metheti, atau nyingsoti, dan puas ketika burung kesayangannya manggung bersahut-sahutan: aur keteg koong koong kong. Jika sudah demikian, ia jadi tampak sangat bahagia, tampak mulia, serasa beban hidup lenyap seketika. Maka, ketika ke sawah manggul pacul pun dia melangkah dengan gagah sambil rengeng-rengeng Mijil, Sinom, atau Dandanggula.
Karena itulah, hingga kini kebiasaan memelihara perkutut terhitung masih mbalung sungsum bagi orang Jawa yang ''nggegegi Jawane''. Seperti halnya memelihara ayam aduan, mancing, udud klembak menyan, nglaras uyon-uyon atau campursari sambil menikmati teh nasgithel, masang wayang kulit idolanya di ruang tamu, dan lain-lain. Meskipun ada juga kegemaran yang kadang menjurus ke hal-hal negatif, seperti judi, dan adu jago, namun klangenan sendiri sering dijadikan obat, atau ''tamba ati'' bagi orang Jawa dalam mencari dan menemukan kenteraman hidup. Atau dengan kata lain, klangenan bukan untuk bersenang-senang saja, melainkan cara untuk memperoleh: padhange pikir, resiking ati, dan warasing jiwa-raga. Contohnya seperti kebiasaan memelihara perkutut itu.
Bagi orang Jawa (di Jawa) bunyi perkutut yang khas bukan saja terdengar indah, merdu, namun juga menenteramkan, memberikan suasana nyaman pada lingkungan. Bahkan tidak jarang mereka menganggap perkutut burung ''sakral'', sehingga menembak burung ini pun dianggap tabu, dan memelihara perkutut dianggap laku olah batin bagi yang bersangkutan. Itulah sebabnya pengakuan nilai perkutut di Jawa kadang bukan hanya berpedoman pada kemerduan suara, keindahan wujud, dan kejinakannya melulu, akan tetapi sudah menggunakan pertimbangan spiritual (rohani). Soalnya, banyak yang percaya jika perkutut dapat memberikan sinyal-isyarat lewat berbagai macam cara atas sejumlah peristiwa kosmis yang sulit dijangkau atau dideteksi akal-budi manusia. Dengan demikian, perkutut seolah dianggap sekumpulan mata facet dari kutub-kutub magnet yang mampu menangkap gejala alam dan memancarkan kembali ke dalam bentuk sederhana dan mudah dipahami secara inderawi oleh pemiliknya.
Maka tidak mengherankan jika sampai hari ini klangenan memelihara perkutut belum terkalahkan oleh tren memelihara burung berkicau, seperti: jalak, cucak rawa, hwabie, poksay, murai, kenari, dan lain-lain. Sebab, jika kicau jalak atau cucak hanya merdu dan memberikan suasana alamiah, anggung-nya perkutut lebih dari itu. Mitosnya tidak jauh berbeda dari suara gagak yang sering jadi tanda akan datangnya kematian atau marabahaya. Mirip suara prenjak yang jadi pertanda datangnya tamu serta rezeki. Setara dengan suara burung malam, seperti kulik dan tu'u, yang suka dikaitkan dengan hantu dan pencuri.
Memelihara perkutut sudah cukup tua, membuat burung ini seakan telah menyatu dengan kehidupan orang Jawa. Buktinya, primbon mengenai perkutut sudah ada sejak berbabad-abad lalu. Seperti ''Katuranggan Oceh-Ocehan'' dari Kasunanan Giri (1478-1670) yang ditulis begitu njlimet. ''Katurangganing Kapal lan Peksi'' yang ditemukan di Kasunanan Bonang (Tuban) ketika ekspedisi Speelman (VOC) menyerang basis-basis Trunajaya di Jatim. ''Karuman Wasiteng Wali'' yang ditemukan di Padepokan Kanigoro, Gunung Pasir, antara Probolinggo-Pasuruhan, berangka 1512, di mana DG Hollander menelitinya pada tahun 1896.
Ternyata banyak klangenan di Jawa bukannya main-main, dan keliru jika kebiasaan tersebut hanya dinilai dari pandangan wadhag belaka. Contohnya, memelihara perkutut dan menghayati suaranya bukan hanya luru seneng, tetapi sesungguhnya mburu antenge pikir lan urip. Memberi aba-apa perkutut juga merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan hewan dan alam semesta. Seluruh gerak kehidupan perkutut dalam sangkarnya pun dapat dijadikan kaca benggala. ''Sapa kang menehi kabecikan marang liyan, bakal winales becik dening liyan.'' Maka, lebih terpuji lagi jika masih suka nguri-uri kebiasaan, pada waktu-waktu tertentu melepas kembali perkutut peliharaanya ke alam bebas, pulang ke habitatnya. Artinya, klangenan memelihara perkutut juga menjadi pelajaran berharga bagi kita: ''Sapa seneng ngrungokake tangise liyan, ora pantes nangisi barang darbeke kang ilang.''
Catatan Sena
Catatan Kecil Pak Sena memandang dunia.........
Selasa, 17 Mei 2011
ANOMALI PRESPEKTIF
Selalu menarik ketika ketika jari ini menari-nari di atas huruf-huruf notebook untuk sekedar berwacana perihal prespektif.Dimata saya, perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat, menilai sesuatu. Akibatnya, filsafat kebenaran dari perspektif sangat bergantung pada alat ukur dalam menilai prespektif itu sendiri.
Saya mencoba mendalami definisi perspektif di WikiEnglish yang kemudian muncul definisinya prespektif sebagai “one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related experience of the narrator”.
Alur pikIr saya mencoba menafsir bahwa karena perspektiflah yang mendasari opini. Dan opini punya pengaruh besar membentuk pola pikir. Dan ujung-ujungnya, mampu membentuk jadi diri. Entah itu pribadi, sekelompok orang, bahkan sampai ke level yang lebih besar.
Menurut hemat saya, umumnya, terutama dipikiran orang yang berada di lingkaran tertentu dan berada di level mayoritas, berpendapat yang berbeda dari opini umum yang berlaku adalah anomali. Para anomali ini bisa dianggap telah menabrak dinding nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Para anomali dapat diaktorkan secara umum seolah-olah tengah menjadi maling yang hidup dilingkungan para kiai, atau bisa jadi malah sebaliknya. Itulah seorang anomali.
Ada resiko yang tengah dijalankan seorang anomali. Negara ini katanya memang negara hukum. Tapi sepertinya hokum pun ternyata tidak ansih dan tetap saja bisa diperspektifkan. Mungkin benar negara ini adalah negara hukum. Hukum opini. Hukum kekuasaan. Atas nama kebenaran. Entah kebenaran siapa. Entah kebenaran yang mana. Semoga saya salah.
Menilik kenyataan sejarah yang merupakan suatu ironi, hampir mayoritas tokoh-tokoh legendaris, sangat dekat dengan ke-anomali-an. Lihat saja nasib seorang Soekarno, Soeharto, dan tokoh-tokoh besar lainnya.Ketika kemudian diantara mereka lalu kecele dan menyeleweng dari mainstream yang telah ia bawa, relatif itu terjadi ketika ia terlalu lama dalam mainstream itu sendiri. Lupa bahwa ia dulu juga seorang pembaharu, yang jika ia sendiri tak terbaharukan, maka ialah yang akan jadi tumbal. Posisi status quo, terlalu lama di confort zone-lah yang menyebabkan ia hancur (setidaknya bagi yang menganggap mereka hancur). Sedangkan orang-orang yang konsisten menerima pertumbuhan alam semesta, harum namanya diakhir hayatnya.
Kecerdasan itu dekat dengan kegilaan. Sebuah kalimat yang sering saya dengar. Jangan-jangan Muhammad saw pun pada saat di utus oleh Tuhan di masyarakat Quraisy, dia juga dianggap anomali saat itu, sama halnya dengan nabi-nabi sebelum beliau dimasanya masing-masing. Namun Rasulullah secara konsisten menyampaikan pesan-pesan Tuhan bagi kebaikan semesta alam.
Sangatlah disayangkan, banyak orang tidak siap dengan perubahan. Tidak banyak orang yang siap dengan perbedaan. Lebih banyak orang nyaman pada confort zonenya. Pada pembawa perubahan sering menjadi musuh bagi masyarakat saat itu. Seorang yang berbeda memiliki resiko dalam hidupnya. Disisihkan, dibenci, bahkan bisa ditinggal oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang lebih sering lagi, berperang dengan dirinya sendiri, untuk konsisten atau mengikuti pendapat mayoritas. Tidak semua orang kuat menjadi seperti itu. Semoga para pembaharu diberi kekuatan dan konsistensi. Namun tetap membuka mata, membuka telinga agar pembaharuan yang dibawa tidak menjadi racun yang membunuhnya sendiri. Agar dia tidak mati oleh nilai yang dia bawa sendiri. Terjebak dalam pembenaran-pembenarannya sendiri.
Akhirnya, silahkan beropini, dengan perspektif masing-masing tentunya…
Saya mencoba mendalami definisi perspektif di WikiEnglish yang kemudian muncul definisinya prespektif sebagai “one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and experiences”, “the related experience of the narrator”.
Alur pikIr saya mencoba menafsir bahwa karena perspektiflah yang mendasari opini. Dan opini punya pengaruh besar membentuk pola pikir. Dan ujung-ujungnya, mampu membentuk jadi diri. Entah itu pribadi, sekelompok orang, bahkan sampai ke level yang lebih besar.
Menurut hemat saya, umumnya, terutama dipikiran orang yang berada di lingkaran tertentu dan berada di level mayoritas, berpendapat yang berbeda dari opini umum yang berlaku adalah anomali. Para anomali ini bisa dianggap telah menabrak dinding nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Para anomali dapat diaktorkan secara umum seolah-olah tengah menjadi maling yang hidup dilingkungan para kiai, atau bisa jadi malah sebaliknya. Itulah seorang anomali.
Ada resiko yang tengah dijalankan seorang anomali. Negara ini katanya memang negara hukum. Tapi sepertinya hokum pun ternyata tidak ansih dan tetap saja bisa diperspektifkan. Mungkin benar negara ini adalah negara hukum. Hukum opini. Hukum kekuasaan. Atas nama kebenaran. Entah kebenaran siapa. Entah kebenaran yang mana. Semoga saya salah.
Menilik kenyataan sejarah yang merupakan suatu ironi, hampir mayoritas tokoh-tokoh legendaris, sangat dekat dengan ke-anomali-an. Lihat saja nasib seorang Soekarno, Soeharto, dan tokoh-tokoh besar lainnya.Ketika kemudian diantara mereka lalu kecele dan menyeleweng dari mainstream yang telah ia bawa, relatif itu terjadi ketika ia terlalu lama dalam mainstream itu sendiri. Lupa bahwa ia dulu juga seorang pembaharu, yang jika ia sendiri tak terbaharukan, maka ialah yang akan jadi tumbal. Posisi status quo, terlalu lama di confort zone-lah yang menyebabkan ia hancur (setidaknya bagi yang menganggap mereka hancur). Sedangkan orang-orang yang konsisten menerima pertumbuhan alam semesta, harum namanya diakhir hayatnya.
Kecerdasan itu dekat dengan kegilaan. Sebuah kalimat yang sering saya dengar. Jangan-jangan Muhammad saw pun pada saat di utus oleh Tuhan di masyarakat Quraisy, dia juga dianggap anomali saat itu, sama halnya dengan nabi-nabi sebelum beliau dimasanya masing-masing. Namun Rasulullah secara konsisten menyampaikan pesan-pesan Tuhan bagi kebaikan semesta alam.
Sangatlah disayangkan, banyak orang tidak siap dengan perubahan. Tidak banyak orang yang siap dengan perbedaan. Lebih banyak orang nyaman pada confort zonenya. Pada pembawa perubahan sering menjadi musuh bagi masyarakat saat itu. Seorang yang berbeda memiliki resiko dalam hidupnya. Disisihkan, dibenci, bahkan bisa ditinggal oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang lebih sering lagi, berperang dengan dirinya sendiri, untuk konsisten atau mengikuti pendapat mayoritas. Tidak semua orang kuat menjadi seperti itu. Semoga para pembaharu diberi kekuatan dan konsistensi. Namun tetap membuka mata, membuka telinga agar pembaharuan yang dibawa tidak menjadi racun yang membunuhnya sendiri. Agar dia tidak mati oleh nilai yang dia bawa sendiri. Terjebak dalam pembenaran-pembenarannya sendiri.
Akhirnya, silahkan beropini, dengan perspektif masing-masing tentunya…
SYUKUR
Kali ini Bedegul ngobrol sama Engkoh Engkoh. Malam belum begitu larut, masih kemerahan meski sudah jam 8 malam (Curug sih, rada ndeso!). Engkoh Engkoh ini kenalannya Bedegul, sejak sebulan yang lalu. Dia baru datang ke Curug. Nerusin toko peninggalan papahnya yang sudah meninggal. Engkoh Engkoh yang muallaf ini sangat tekun beribadah, Bedegul kagum dengan semangat dan ghiroh yang dimiliki Engkoh-Engkoh satu ini. Terjadilah obrolan menjelang malam sehabis makan seporsi Mie Ayam Baso di pinggir pertelon.
Engkoh Engkoh (EE): "Bedegul, menurut kamu, filsafat selalu untung-nya orang jawa itu gimana?"
Bedegul (B): "Waduh ada apa ini sore2 gini ngobrol rasial begini? kalo filsafat itu insya Allah selalu saya coba pegang..."
EE: "bagusnya dimana itu, Gul? tidak ekonomis, politis dan aplikatif!! hasilnya ya itu orang jawa gak kaya2... miskin terus! coba liat orang2 saya di seluruh dunia ada dan satu tipe. TEKUN! memang gak semua sih, tapi bandingin sama orang-orang kamu. Dikit-dikit merasa untung... kaki patah ketabrak sepeda roda tiga saja masih sempet ngomong "untung baru kaki yang patah, cuma satu lagi!!" itu kan bodo!!"
B: "Hehehehe! kejam banget sampeyan ini... jangan gebyah uyah alias menyamaratakan begitu. Sudah jarang lho orang jawa yang begitu Sayang sekali memang, orang2 macam itu tinggal sedikit!"
EE: "LHO?? kamu malah gak seneng orang2mu gak gitu lagi tho, jo? Logikanya dimana?"
B: "Gini, Koh! merasa selalu untung bukankah ibarat ber-hamdalah setiap saat? Dan kalo sampeyan amati, orang jawa make filsafat itu kan cuma kalo lagi kena bala, musibah, celaka, rugi atau sial saja tho? Kalo ada yg ngomong, Untung rumah kita cuma kebakar separo, liat tuh tetangga sebelah! habis-habisan dimakan api!! Kalimat macam gitu kan cocok marcocok dengan nyuruh kita ngeliat ke bawah kita dan bukannya ndongak ngeliat yg diatas kita terus tho? agar kita lebih bersyukur?"
EE: "Ah yang bener? jangan2 itu akal2mu saja, jo. yang gak mau orang jawa dihina-hina... Apa filsafat macam itu gak bikin orang males?
B: "Gak no!! Gini kalo masalah hasil kerja keras orang jawa malah selalu ngerasa seharusnya bisa dapet lebih!! Dan kalo filsafat orang jawa bikin males, kenapa tukang Mie Ayam yang top tadi itu asalnya dari mBojonegoro? tukang nasi goreng dari lamongan? padahal ini Curug lho?"
EE: "Iya deh... tapi kamu dines di Curug, ndeso, itu untungnya apa tho? Disamping apa-apa mahal, kalo mau mudik butuh dana banyak, panas, sempit dan gak ada cewek cantik. Apa, tho?"
P: "Hush!! Bandingin sama penganggur, sama orang cacat yg gak bisa dapet pekerjaan, sama korban perampokan yg dibuang di jalan tol, sama korban tsunami aceh, apa saya gak jauh jauh jauh jauuuuuuuh lebih beruntung? Dan tentang cewek, kalo saya gak dines disini apa bakal saya ketemu sama si Iyem istri saya itu, udah menghasilkan 2 lagi, he he he?"
EE: "Ya.. Aku sekarang tahu cara kerja otakmu.... dasar jawir....jawir ....he he he
P: "Lha ungtung to sampeyan dah ngerti sekarang...."
Gusti, buatlah hamba selalu pandai bersyukur... Karena apa yang tampak baik bagi hamba, belum tentu baik menurut panjenengan, Gusti! Alhamdulillah, Gusti! Alhamdulillah saya sudah tinggal di rumah dines dipinjami kantor, tapi kalo boleh saya nyuwun dikasih rumah, yang ada garasinya terus ada isinya, 2 ajah, buat saya dines dan istri ngantar anak anak sekolah.... Amiin.
Engkoh Engkoh (EE): "Bedegul, menurut kamu, filsafat selalu untung-nya orang jawa itu gimana?"
Bedegul (B): "Waduh ada apa ini sore2 gini ngobrol rasial begini? kalo filsafat itu insya Allah selalu saya coba pegang..."
EE: "bagusnya dimana itu, Gul? tidak ekonomis, politis dan aplikatif!! hasilnya ya itu orang jawa gak kaya2... miskin terus! coba liat orang2 saya di seluruh dunia ada dan satu tipe. TEKUN! memang gak semua sih, tapi bandingin sama orang-orang kamu. Dikit-dikit merasa untung... kaki patah ketabrak sepeda roda tiga saja masih sempet ngomong "untung baru kaki yang patah, cuma satu lagi!!" itu kan bodo!!"
B: "Hehehehe! kejam banget sampeyan ini... jangan gebyah uyah alias menyamaratakan begitu. Sudah jarang lho orang jawa yang begitu Sayang sekali memang, orang2 macam itu tinggal sedikit!"
EE: "LHO?? kamu malah gak seneng orang2mu gak gitu lagi tho, jo? Logikanya dimana?"
B: "Gini, Koh! merasa selalu untung bukankah ibarat ber-hamdalah setiap saat? Dan kalo sampeyan amati, orang jawa make filsafat itu kan cuma kalo lagi kena bala, musibah, celaka, rugi atau sial saja tho? Kalo ada yg ngomong, Untung rumah kita cuma kebakar separo, liat tuh tetangga sebelah! habis-habisan dimakan api!! Kalimat macam gitu kan cocok marcocok dengan nyuruh kita ngeliat ke bawah kita dan bukannya ndongak ngeliat yg diatas kita terus tho? agar kita lebih bersyukur?"
EE: "Ah yang bener? jangan2 itu akal2mu saja, jo. yang gak mau orang jawa dihina-hina... Apa filsafat macam itu gak bikin orang males?
B: "Gak no!! Gini kalo masalah hasil kerja keras orang jawa malah selalu ngerasa seharusnya bisa dapet lebih!! Dan kalo filsafat orang jawa bikin males, kenapa tukang Mie Ayam yang top tadi itu asalnya dari mBojonegoro? tukang nasi goreng dari lamongan? padahal ini Curug lho?"
EE: "Iya deh... tapi kamu dines di Curug, ndeso, itu untungnya apa tho? Disamping apa-apa mahal, kalo mau mudik butuh dana banyak, panas, sempit dan gak ada cewek cantik. Apa, tho?"
P: "Hush!! Bandingin sama penganggur, sama orang cacat yg gak bisa dapet pekerjaan, sama korban perampokan yg dibuang di jalan tol, sama korban tsunami aceh, apa saya gak jauh jauh jauh jauuuuuuuh lebih beruntung? Dan tentang cewek, kalo saya gak dines disini apa bakal saya ketemu sama si Iyem istri saya itu, udah menghasilkan 2 lagi, he he he?"
EE: "Ya.. Aku sekarang tahu cara kerja otakmu.... dasar jawir....jawir ....he he he
P: "Lha ungtung to sampeyan dah ngerti sekarang...."
Gusti, buatlah hamba selalu pandai bersyukur... Karena apa yang tampak baik bagi hamba, belum tentu baik menurut panjenengan, Gusti! Alhamdulillah, Gusti! Alhamdulillah saya sudah tinggal di rumah dines dipinjami kantor, tapi kalo boleh saya nyuwun dikasih rumah, yang ada garasinya terus ada isinya, 2 ajah, buat saya dines dan istri ngantar anak anak sekolah.... Amiin.
Let it be
Saya berpikir, kenapa kita suka menilai orang lain ? membuat stereotype, berprasangka, prejudice, berasumsi, mempersepsi perilaku orang lain..
Orang dulu bilang, kita ini makhluk yang butuh kepastian. Kepastian membuat kita tenang dalam menghadapi hidup. Kita butuh memperkirakan masa depan, dan gelisah terhadap ketidakpastian. Karenanya, manusia cenderung cepat mengambil kesimpulan, seberapapun sedikitnya informasi yang dimiliki.
Kita juga belajar dari pengalaman. Kita melakukan deduksi terhadap satu atau lebih peristiwa, melihat pola-pola kesamaan, dan dengannya memperkirakan apa yang akan terjadi kemudian.
Sayangnya, dunia manusia tidak bisa direduksi hanya dengan pola linearitas hubungan sebab-akibat. Yang ada adalah pola hubungan nonlinear, Orang pintar bilang bahwa tiap hubungan menimbulkan satu bentuk baru yang muncul secara sontak…whatever.
Intinya, banyak sekali informasi yang harus kita cari, pola-pola hubungan yang terkesan acak yang perlu kita dalami lagi, sebelum kita berangkat pada kesimpulan – especially when it concerns our perception to others. Susah kan ?
Ada lagi cara yang lebih gampang. Let it be. Tidak harus menilai, tidak harus meramalkan, cukup percaya dan menerima..
Saya cukup percaya kalau semua orang adalah individu yang berbeda, unik, –and yet, sama. Saya tidak harus menyimpulkan bahwa ‘seseorang‘ tidak bisa dipercaya hanya karena dia satu-dua kali mengingkari janji. Dan saya tidak bisa membencinya hanya karena dia telah dilabeli ’pembohong’, misalnya. Setiap manusia sama, belajar, dan melakukan kesalahan. Tapi, seperti kata Oprah Winfrey, kamu bukan ’kesalahan kamu’.
Buat saya, agak menenangkan saat dapat melihat orang lain tanpa pretensi apapun. Susah memang, tapi menenangkan..:)
Orang dulu bilang, kita ini makhluk yang butuh kepastian. Kepastian membuat kita tenang dalam menghadapi hidup. Kita butuh memperkirakan masa depan, dan gelisah terhadap ketidakpastian. Karenanya, manusia cenderung cepat mengambil kesimpulan, seberapapun sedikitnya informasi yang dimiliki.
Kita juga belajar dari pengalaman. Kita melakukan deduksi terhadap satu atau lebih peristiwa, melihat pola-pola kesamaan, dan dengannya memperkirakan apa yang akan terjadi kemudian.
Sayangnya, dunia manusia tidak bisa direduksi hanya dengan pola linearitas hubungan sebab-akibat. Yang ada adalah pola hubungan nonlinear, Orang pintar bilang bahwa tiap hubungan menimbulkan satu bentuk baru yang muncul secara sontak…whatever.
Intinya, banyak sekali informasi yang harus kita cari, pola-pola hubungan yang terkesan acak yang perlu kita dalami lagi, sebelum kita berangkat pada kesimpulan – especially when it concerns our perception to others. Susah kan ?
Ada lagi cara yang lebih gampang. Let it be. Tidak harus menilai, tidak harus meramalkan, cukup percaya dan menerima..
Saya cukup percaya kalau semua orang adalah individu yang berbeda, unik, –and yet, sama. Saya tidak harus menyimpulkan bahwa ‘seseorang‘ tidak bisa dipercaya hanya karena dia satu-dua kali mengingkari janji. Dan saya tidak bisa membencinya hanya karena dia telah dilabeli ’pembohong’, misalnya. Setiap manusia sama, belajar, dan melakukan kesalahan. Tapi, seperti kata Oprah Winfrey, kamu bukan ’kesalahan kamu’.
Buat saya, agak menenangkan saat dapat melihat orang lain tanpa pretensi apapun. Susah memang, tapi menenangkan..:)
Older means wiser
Namanya kita sebagai mahluk sosial, tentu kita harus menghadapi berbagai macam orang, dengan berbagai macam latar belakang keluarga yang berbeda beda.
Saya yakin, bahwa setiap keluarga membesarkan anak-anaknya dengan bekal sopan santun. Misalnya, hal-hal sederhana saja dari “terima kasih” atau “apa kabar?”. Setelah kita dewasa ternyata sopan santun itu tidak saja soal mengucapkan “terima kasih” atau “apa kabar?”, tetapi meluas mengenai bagaimana menjaga perasaan orang lain.
Sebagai contoh, ketika kita sudah dewasa dan kenal dengan yang namanya uang, ternyata topik ini benar-benar topik yanng sensitif. Menanyakan kepada teman kita, berapa gaji/penghasilan mereka misalnya. Walaupun sekadar informasi berapa besar penghasilan profesi teman kita itu, Saya kadang heran, ini sopan atau tidak?
Lalu, kalau kita misalnya sedang banyak uang, sedangkan teman kita sedang bokek. Kalau kita mau membeli barang yang kebetulan mahal harganya, apakah sopan jika kita lakukan di depan teman kita, yang kita sudah tahu kalau dia sedang tidak punya uang?
Dan sebaliknya, apakah ini ide yang baik, semisal kalau kita sedang tidak punya uang, lalu kita meminjam uang kepada teman kita? Saya sering dengar nasihat, “Jangan pinjamkan uang kepada teman, karena gara-gara uang persahabatan bisa jadi masalah!” Ini terjadi pada teman saya yang baik hati dan keras kepala. Dia tetap meminjamkan uang kepada sahabatnya. Suatu hari, mereka jalan-jalan di ma. Sahabatnya yang berutang padanya, membeli sebuah tas yang cukup mahal harganya. Teman saya berpikir, “Lho, bukannya kamu masih utang kepada saya? Bukankah kamu harusnya lunasi dulu utangmu, baru kamu belanja?”
Saya tanya kepada teman saya, “Apakah kamu memerlukan uang itu segera untuk dipakai keperluan yang penting?” Lalu, teman saya itu menjawab , bahwa tentu dia belum memerlukan uang itu, dan kalau ia tahu ia dalam posisi tidak bisa meminjamkan uang, tentu ia tidak akan berani meminjamkan. Tetapi masalahnya, bukan soal teman saya ini perlu uang yang dipinjamkan atau tidak. Namun, ini soal mana yang sopan, mana yang benar, dan mana yang salah.
Apakah karena dia tidak sedang memerlukan uang maka sahabatnya yang berutang tidak usah buru-buru melunasi, sehingga bisa mendahulukan membeli tas daripada melunasi utang?
Contoh lain adalah sopan santun soal titip-menitip. Kalau kita kebetulan pergi ke luar negeri, dan ada teman yang mau menitip barang kepada kita, apakah sopan bila misalnya barang titipannya berat, lalu besar dan makan tempat separuh dari koper kita? Atau, apakah sopan kalau barang yang dititipkannya kepada kita itu bisa di dapatkan di Jakarta, tetapi alasan menitip adalah karena di negeri yang mau kita kunjungi harganya lebih murah? Apakah sopan kalau kita berhermat dengan harga tetapi dengan menyusahkan teman kita?
Untuk semua pertanyaan yang saya timbulkan di atas, saya benar-benar tidak tahu jawabannya. Sehingga, untuk amannya saya usahakan bagaimana cara untuk tidak pinjam uang kepada teman, dan kalau bisa tidak titip barang-barang yang mana saya bisa dapatkan di sini. Karena, bagi setiap orang mana yang sopan dan tidak sopan ternyata beda-beda.
Teman saya ada yang rela dititipi vitamin yang kemasannya gelas dari Singapura, walaupun vitamin itu ada di Hero, tetapi harganya beda Rp 25.000 lebih mahal. Tetapi, ada juga teman saya yang, walaupun mau, tetapi ngomel-ngomel di belakang. Dan, ada juga yang dengan diplomatis bilang, “OK“ lantas pura-pura lupa beli. Apakah benar atau salah berjanji akan membelikan, tetapi tidak dilakukan?
Lalu, soal arisan misalnya, apakah sopan kalau kita sudah “narik”, lalu pada acara-acara berikutnya kita tidak perlu datang lagi? Dan bahkan kita lupa bayar setoran arisan? Lalu, apakah sopan kalau soal jemput-menjemput, tebeng-menebeng, tetapi tidak mau patungan membeli bensin?
Apakah sopan kalau kita membanggakan karier dan kesuksesan kita di depan teman yang baru saja kena PHK? Apakah sopan kalau kita hanya hadir di undangan orang kaya dan tidak datang kalau yang mengundang kita bukan orang berada?
Apakah sopan kalau teman kita menanyakan pendapat soal apakah karyanya bagus atau tidak, lalu dijawab dengan jujur bahwa karyanya adalah karya pas-pasan, atau lebih sopan kalau kita berbohong ‘putih’ (white lies) bahwa karyanya bagus? Atau, ketika teman kita tanya pendapat kita apakah dia gemuk, baju dia bagus atau tidak, mana yang benar…? Bilang jujur apa adanya, walaupun jawaban jujurnya tentu tidak enak diterima, atau lebih benar kalau kita gunakan semua “white lies” kita?
Apakah sopan kalau kita terlambat satu jam lebih ketika sudah sama-sama buat janji di suatu jam yang sama? Apakah sopan kalau ketika makan bersama, walau kita pesan tiga macam makanan dan teman kita hanya pesan secangkir kopi, lalu kita minta bonnya dibagi dua?
Apakah sopan kalau karena kita pikir kita lebih kebelet pipis, maka kita menyerobot antrian di kamar mandi? Apakah sopan kalau kita ke salon dan tidak memberi tip? Apakah sopan kalau seorang pria ketika bicara dengan wanita bukan melihat matanya, tetapi menatap dadanya? Apakah sopan kalau kita nonton di bioskop, lalu kita mengobrol dengan handphone? Apakah sopan kalau lawan bicara kita sedang menjelaskan sesuatu kepada kita, lalu ketika handphone berbunyi tanpa basa-basi kita angkat handphone kita sehingga memotong pembicaraan lawan bicara kita?
Apakah sopan kalau kita sebenarnya saling kenal, tetapi karena lupa namanya kita pura-pura tidak lihat? Apakah sopan kalau kita bergosip? Apakah sopan kalau kita menerima kado yang tidak kita sukai, lalu kado itu dibungkus ulang untuk diberikan kepada orang lain yang berulang tahun?
Ternyata, soal sopan dan tidak sopan, having common decency atau manners itu tidak semua orang tua bisa ajarkan kepada kita. Di sepanjang hidup kita, akhirnya kita harus pakai kompas pengalaman seberanjaknya kita bertambah usia. Katanya, older means wiser, maksudnya semakin tua umur kita semakin dewasa. Tetapi, apakah paket dewasa itu isinya ada sopan santun, sensitivitas dalam menjaga perasaan orang lain, dan kebijaksanaan?
Saya yakin, bahwa setiap keluarga membesarkan anak-anaknya dengan bekal sopan santun. Misalnya, hal-hal sederhana saja dari “terima kasih” atau “apa kabar?”. Setelah kita dewasa ternyata sopan santun itu tidak saja soal mengucapkan “terima kasih” atau “apa kabar?”, tetapi meluas mengenai bagaimana menjaga perasaan orang lain.
Sebagai contoh, ketika kita sudah dewasa dan kenal dengan yang namanya uang, ternyata topik ini benar-benar topik yanng sensitif. Menanyakan kepada teman kita, berapa gaji/penghasilan mereka misalnya. Walaupun sekadar informasi berapa besar penghasilan profesi teman kita itu, Saya kadang heran, ini sopan atau tidak?
Lalu, kalau kita misalnya sedang banyak uang, sedangkan teman kita sedang bokek. Kalau kita mau membeli barang yang kebetulan mahal harganya, apakah sopan jika kita lakukan di depan teman kita, yang kita sudah tahu kalau dia sedang tidak punya uang?
Dan sebaliknya, apakah ini ide yang baik, semisal kalau kita sedang tidak punya uang, lalu kita meminjam uang kepada teman kita? Saya sering dengar nasihat, “Jangan pinjamkan uang kepada teman, karena gara-gara uang persahabatan bisa jadi masalah!” Ini terjadi pada teman saya yang baik hati dan keras kepala. Dia tetap meminjamkan uang kepada sahabatnya. Suatu hari, mereka jalan-jalan di ma. Sahabatnya yang berutang padanya, membeli sebuah tas yang cukup mahal harganya. Teman saya berpikir, “Lho, bukannya kamu masih utang kepada saya? Bukankah kamu harusnya lunasi dulu utangmu, baru kamu belanja?”
Saya tanya kepada teman saya, “Apakah kamu memerlukan uang itu segera untuk dipakai keperluan yang penting?” Lalu, teman saya itu menjawab , bahwa tentu dia belum memerlukan uang itu, dan kalau ia tahu ia dalam posisi tidak bisa meminjamkan uang, tentu ia tidak akan berani meminjamkan. Tetapi masalahnya, bukan soal teman saya ini perlu uang yang dipinjamkan atau tidak. Namun, ini soal mana yang sopan, mana yang benar, dan mana yang salah.
Apakah karena dia tidak sedang memerlukan uang maka sahabatnya yang berutang tidak usah buru-buru melunasi, sehingga bisa mendahulukan membeli tas daripada melunasi utang?
Contoh lain adalah sopan santun soal titip-menitip. Kalau kita kebetulan pergi ke luar negeri, dan ada teman yang mau menitip barang kepada kita, apakah sopan bila misalnya barang titipannya berat, lalu besar dan makan tempat separuh dari koper kita? Atau, apakah sopan kalau barang yang dititipkannya kepada kita itu bisa di dapatkan di Jakarta, tetapi alasan menitip adalah karena di negeri yang mau kita kunjungi harganya lebih murah? Apakah sopan kalau kita berhermat dengan harga tetapi dengan menyusahkan teman kita?
Untuk semua pertanyaan yang saya timbulkan di atas, saya benar-benar tidak tahu jawabannya. Sehingga, untuk amannya saya usahakan bagaimana cara untuk tidak pinjam uang kepada teman, dan kalau bisa tidak titip barang-barang yang mana saya bisa dapatkan di sini. Karena, bagi setiap orang mana yang sopan dan tidak sopan ternyata beda-beda.
Teman saya ada yang rela dititipi vitamin yang kemasannya gelas dari Singapura, walaupun vitamin itu ada di Hero, tetapi harganya beda Rp 25.000 lebih mahal. Tetapi, ada juga teman saya yang, walaupun mau, tetapi ngomel-ngomel di belakang. Dan, ada juga yang dengan diplomatis bilang, “OK“ lantas pura-pura lupa beli. Apakah benar atau salah berjanji akan membelikan, tetapi tidak dilakukan?
Lalu, soal arisan misalnya, apakah sopan kalau kita sudah “narik”, lalu pada acara-acara berikutnya kita tidak perlu datang lagi? Dan bahkan kita lupa bayar setoran arisan? Lalu, apakah sopan kalau soal jemput-menjemput, tebeng-menebeng, tetapi tidak mau patungan membeli bensin?
Apakah sopan kalau kita membanggakan karier dan kesuksesan kita di depan teman yang baru saja kena PHK? Apakah sopan kalau kita hanya hadir di undangan orang kaya dan tidak datang kalau yang mengundang kita bukan orang berada?
Apakah sopan kalau teman kita menanyakan pendapat soal apakah karyanya bagus atau tidak, lalu dijawab dengan jujur bahwa karyanya adalah karya pas-pasan, atau lebih sopan kalau kita berbohong ‘putih’ (white lies) bahwa karyanya bagus? Atau, ketika teman kita tanya pendapat kita apakah dia gemuk, baju dia bagus atau tidak, mana yang benar…? Bilang jujur apa adanya, walaupun jawaban jujurnya tentu tidak enak diterima, atau lebih benar kalau kita gunakan semua “white lies” kita?
Apakah sopan kalau kita terlambat satu jam lebih ketika sudah sama-sama buat janji di suatu jam yang sama? Apakah sopan kalau ketika makan bersama, walau kita pesan tiga macam makanan dan teman kita hanya pesan secangkir kopi, lalu kita minta bonnya dibagi dua?
Apakah sopan kalau karena kita pikir kita lebih kebelet pipis, maka kita menyerobot antrian di kamar mandi? Apakah sopan kalau kita ke salon dan tidak memberi tip? Apakah sopan kalau seorang pria ketika bicara dengan wanita bukan melihat matanya, tetapi menatap dadanya? Apakah sopan kalau kita nonton di bioskop, lalu kita mengobrol dengan handphone? Apakah sopan kalau lawan bicara kita sedang menjelaskan sesuatu kepada kita, lalu ketika handphone berbunyi tanpa basa-basi kita angkat handphone kita sehingga memotong pembicaraan lawan bicara kita?
Apakah sopan kalau kita sebenarnya saling kenal, tetapi karena lupa namanya kita pura-pura tidak lihat? Apakah sopan kalau kita bergosip? Apakah sopan kalau kita menerima kado yang tidak kita sukai, lalu kado itu dibungkus ulang untuk diberikan kepada orang lain yang berulang tahun?
Ternyata, soal sopan dan tidak sopan, having common decency atau manners itu tidak semua orang tua bisa ajarkan kepada kita. Di sepanjang hidup kita, akhirnya kita harus pakai kompas pengalaman seberanjaknya kita bertambah usia. Katanya, older means wiser, maksudnya semakin tua umur kita semakin dewasa. Tetapi, apakah paket dewasa itu isinya ada sopan santun, sensitivitas dalam menjaga perasaan orang lain, dan kebijaksanaan?
"Selalu ada kekuatan di atas kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengetahui hari esok kecuali mengira-ngira saja......"
Dalam suatu makan malam yang menyenangkan bersama mamanya anak-anak di salah satu Resto Chinese di Kelapa Gading beberapa waktu lalu, kami mendapatkan kesempatan mendapatkan door prize. Dari kotak undian, selembar kertas dibaca, bukan sebuah hadiah discount atas makan malam kami, bukan juga hadiah lain, melainkan serangkaian kalimat. Sempat kami sedikit kecewa, namun buru-buru bersyukur atas pemberian dalam secarik kertas itu.
"Jangan menunggu inspirasi untuk memulai tindakan. Melainkan, bertindaklah untuk memberikan inspirasi." Begitu kira-kira isi dari hadiah itu. Hadiah yang menyentil diri sendiri untuk mengingat kembali arti tindakan. Maklum, sebagian besar karir profesional dan latar belakang pendidikan lebih berkutat pada perhitungan dan perencanaan.
Kepiawaian dalam perencanaan tidak serta merta membuat seseorang piawai dalam mengeksekusinya. "Planning the work, sangat berbeda dengan working the plan.
Dalam perencanaan, kita hanya dihadapkan pada resiko di atas kertas. Berbeda saat eksekusi, kita akan bergelut langsung dengan resiko itu dalam dunia nyata. Dan, Sangat langka seorang pemimpin yang memiliki kedua kemampuan itu sama baik." Begitu seorang teman seorang dosen yang pakar human capital pernah berkata.
Banyak manajer sering berlindung pada kata "manajerial" untuk menghindari resiko gagal dalam eksekusi. "Toh, job description saya adalah merencanakan dan mengevaluasi. Jadi tugas saya memberi pekerjaan, dan marah-marah atas kegagalan dari pekerjaan itu." Sebuah asumsi yang tentunya sarat dengan kritisi, berapa pun menyatakan bahwa manajerial adalah eksekusi.
Eksekusi adalah tindakan. Dan, dalam segala ketidakpastian, dan dinamika persaingan yang menuntut kecepatan, membuat eksekusi diharuskan melibatkan 3 hal : common sense, keberanian dan kelenturan. Common sense diperlukan untuk dapat menjaga kejernihan pikiran untuk mencapai semua tujuan yang sudah direncanakan. Logika yang sehat akan berusaha untuk mencari solusi terbaik dari sekian alternatif solusi atas setiap permasalahan yang muncul di tengah perjalanan eksekusi.
Keberanian, adalah perangkat lunak yang wajib dimiliki oleh setiap manajer. Terutama dalam menghadapi kata resiko yang secara kodratnya memang tidak bisa dieliminasi dalam perhitungan perencanaan. Keberanian, adalah atribut yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Bahkan dalam banyak literatur tentang seni memimpin, keberanian menentukan kualitas dari sang pemimpin itu sendiri.
Keberanian menyangkut bagaimana dia mengambil resiko atas tiap tindakan, termasuk kecepatan dalam mengambil keputusan. Melindungi orang yang dipimpinnya dari setiap kemungkinan kegagalan yang muncul. Di satu sisi, keberanian juga harus menyadari benar hakikat dari sebuah mekanisme pengambilan keputusan. Kadang sebuah keputusan untuk tidak melakukan apapun (do nothing alias diam) bisa jadi keputusan terbaik, namun bisa juga tidak. Semua bergantung kondisi.
Terakhir kelenturan. Kelenturan untuk membelokkan arah dari tujuan ketika terjadi krisis yang membuat tujuan awal menjadi tidak relevan lagi. Kelenturan sendiri menuntut level wisdom yang hanya akan dimiliki lewat perjalanan pengalaman dan kemampuan membaca pelajaran dari sang waktu.
Di akhir semuanya, selain tindakan, saya teringat kisah menarik dari perilaku mantan ”Juragan” saya. Ketika selesai rapat yang membahas semua agenda penting, ketika semua rencana sudah dimatangkan, semua tindakan sudah disiapkan, Sang Juragan lalu keluar ruang rapat. Dia berdoa dengan mimik serius disertai komat kamit tampat di bibirnya. Begitu khusyuk.
"Selalu ada kekuatan di atas kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengetahui hari esok kecuali mengira-ngira saja......" Kata Juragan tadi ketika ditanya mengapa dia harus berdoa seperti itu.
"Jangan menunggu inspirasi untuk memulai tindakan. Melainkan, bertindaklah untuk memberikan inspirasi." Begitu kira-kira isi dari hadiah itu. Hadiah yang menyentil diri sendiri untuk mengingat kembali arti tindakan. Maklum, sebagian besar karir profesional dan latar belakang pendidikan lebih berkutat pada perhitungan dan perencanaan.
Kepiawaian dalam perencanaan tidak serta merta membuat seseorang piawai dalam mengeksekusinya. "Planning the work, sangat berbeda dengan working the plan.
Dalam perencanaan, kita hanya dihadapkan pada resiko di atas kertas. Berbeda saat eksekusi, kita akan bergelut langsung dengan resiko itu dalam dunia nyata. Dan, Sangat langka seorang pemimpin yang memiliki kedua kemampuan itu sama baik." Begitu seorang teman seorang dosen yang pakar human capital pernah berkata.
Banyak manajer sering berlindung pada kata "manajerial" untuk menghindari resiko gagal dalam eksekusi. "Toh, job description saya adalah merencanakan dan mengevaluasi. Jadi tugas saya memberi pekerjaan, dan marah-marah atas kegagalan dari pekerjaan itu." Sebuah asumsi yang tentunya sarat dengan kritisi, berapa pun menyatakan bahwa manajerial adalah eksekusi.
Eksekusi adalah tindakan. Dan, dalam segala ketidakpastian, dan dinamika persaingan yang menuntut kecepatan, membuat eksekusi diharuskan melibatkan 3 hal : common sense, keberanian dan kelenturan. Common sense diperlukan untuk dapat menjaga kejernihan pikiran untuk mencapai semua tujuan yang sudah direncanakan. Logika yang sehat akan berusaha untuk mencari solusi terbaik dari sekian alternatif solusi atas setiap permasalahan yang muncul di tengah perjalanan eksekusi.
Keberanian, adalah perangkat lunak yang wajib dimiliki oleh setiap manajer. Terutama dalam menghadapi kata resiko yang secara kodratnya memang tidak bisa dieliminasi dalam perhitungan perencanaan. Keberanian, adalah atribut yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Bahkan dalam banyak literatur tentang seni memimpin, keberanian menentukan kualitas dari sang pemimpin itu sendiri.
Keberanian menyangkut bagaimana dia mengambil resiko atas tiap tindakan, termasuk kecepatan dalam mengambil keputusan. Melindungi orang yang dipimpinnya dari setiap kemungkinan kegagalan yang muncul. Di satu sisi, keberanian juga harus menyadari benar hakikat dari sebuah mekanisme pengambilan keputusan. Kadang sebuah keputusan untuk tidak melakukan apapun (do nothing alias diam) bisa jadi keputusan terbaik, namun bisa juga tidak. Semua bergantung kondisi.
Terakhir kelenturan. Kelenturan untuk membelokkan arah dari tujuan ketika terjadi krisis yang membuat tujuan awal menjadi tidak relevan lagi. Kelenturan sendiri menuntut level wisdom yang hanya akan dimiliki lewat perjalanan pengalaman dan kemampuan membaca pelajaran dari sang waktu.
Di akhir semuanya, selain tindakan, saya teringat kisah menarik dari perilaku mantan ”Juragan” saya. Ketika selesai rapat yang membahas semua agenda penting, ketika semua rencana sudah dimatangkan, semua tindakan sudah disiapkan, Sang Juragan lalu keluar ruang rapat. Dia berdoa dengan mimik serius disertai komat kamit tampat di bibirnya. Begitu khusyuk.
"Selalu ada kekuatan di atas kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengetahui hari esok kecuali mengira-ngira saja......" Kata Juragan tadi ketika ditanya mengapa dia harus berdoa seperti itu.
Koh Aciong Vs Bejo.....Modern Vs Tradisional....
Mungkin karena belakangan semakin ruwetnya pekerjaan kantor sehingga makin bingung untuk mengikutinya, menghasilkan saya yangpada akhirnya hanya menjadi pengangguran tak kentara, dari pada manyun ga jelas....jari ini mulai menuntun untuk menari di atas keybord PC kantor ini. Sekedar mencermati pergumulan dan carut marut realita hidup yang makin semriwing....Sebuah cerita buah kontemplasi untuk para sahabat...
Pagi yang cerah, di-workshop-nya yang sederhana, Bejo seorang diri, dengan riang, sedang membuat gentong dari tanah liat. Ukuran gentongnya cukup besar, bisa digunakan untuk penampungan air atau untuk menyimpan beras, sekitar 10 literan, untuk waktu lumayan lama. Seharian kerja demikian,
Bejo paling banyak mampu membuat 3 sampai 4 gentong. Dihitung-hitung, untuk hidup sederhana dengan istri dan satu anaknya yang masih kecil, ya cukuplah.
Hari itu selepas tengah hari, Bejo sedang santai, istirahat, tentu sambil menikmati asap kretek kesukaannyanya. Datanglah Koh Aciong dengan mobil bak-nya. Sudah lama Koh Aciong ini customer setia Bejo. Koh Aciong punya toko di pasar desa. Di toko inilah gentong karya Bejo dijejer, ber-parade, dipajang untuk menarik minat ibu-ibu rumah tangga yang tengah belanja di pasar.
Pada saat transaksi jual-beli antara Koh Aciong dan Bejo, terjadilah dialog menarik antara keduanya.
“Jo, hari ini saya hanya bisa beli 4 gentong kamu yang sudah jadi. Gentong lainnya kan masih basah!”
“Ya ga apa-apa Koh! Hanya itu yang sudah siap koq.”
“Kang, kenapa ga bikin gentong lebih banyak lagi? Belakangan lagi bagus nih pasarannya.”
“Ah, untuk apa Koh bikin banyak-banyak? Saya kan lebih nikmat bikinnya jika sambil dihayati…karena saya lebih menikmati pekerjaannya ketimbang hasil akhirnya.”
“Jo, kamu ini gimana sih! Kalo kamu bisa bikin banyak, kan bisa jual banyak juga. Nantinya kamu dapat uang lebih banyak kan!”
“Terus, nanti uang-nya untuk apa Koh?”, kata Bejo yang mulai bingung kemana arah pembicaraan Koh Aciong kali ini.
“Nanti uangnya Bejo kumpulin, terus kan Bejo bisa investasi, bangun pabrik, pekerjakan banyak orang, menggaji staff, masuk deh Bejo ke era produksi massal.”
“Untuk apa semua itu Koh?”, Bejo tambah bingung.
“Ya jelas dong…Bejo kan bisa memperluas usaha, ya akhirnya bisa mendapat lebih banyak untung…”
“Terus…?”
“Ya terus kalo semua sudah dijalankan orang lain yang bekerja untuk Bejo, Bejo kan tinggal enak…Bejo kan bisa santai!”
Bejo tertegun dengan provokasi Koh Aciong kali ini. Tapi dengan lirih Bejo berkata,
“Ah Koh, untuk apa repot-repot begitu. Toh sekarang aja saya sudah bisa santai gini koq…”
“Dasar…otak bebal…”, Cuma itu terucap dalam hati Koh Aciong.
Dialog imajiner diatas hanya gambaran sederhana dari dua masa yang sekarang kita alami bersamaan. Kita sedang gamang apakah akan mengikuti pola “modern” (seperti Koh Aciong) ataukah pola “tradisional” (seperti Bejo). Pola pertama demikian mantap terus maju melesat, mengejar pertumbuhan, meng-eksplorasi alam dan sumber daya dengan kecepatan tinggi bak mobil Formula 1 di sirkuit balap, dengan sedikit mempertimbangkan keterbatasan alam. Sedang pola kedua seakan ingin kembali kepada ke-syahdu-an hidup, berkarya dengan hati, bersatu dengan alam dan lingkungan.
Kita harus memilih salah satu diantara keduanya atau dengan bijak kita menciptakan pilihan ketiga, yaitu berupaya keras melakukan sintesa antara keduanya?
Setiap pilihan yang diambil, tentu ada resikonya. Akan tetapi tetap kita masih mempunyai kuasa karena pilihan ada ditangan kita…tentu dengan memperhatikan kemaslahatan anak-cucu kita di masa datang…
Pagi yang cerah, di-workshop-nya yang sederhana, Bejo seorang diri, dengan riang, sedang membuat gentong dari tanah liat. Ukuran gentongnya cukup besar, bisa digunakan untuk penampungan air atau untuk menyimpan beras, sekitar 10 literan, untuk waktu lumayan lama. Seharian kerja demikian,
Bejo paling banyak mampu membuat 3 sampai 4 gentong. Dihitung-hitung, untuk hidup sederhana dengan istri dan satu anaknya yang masih kecil, ya cukuplah.
Hari itu selepas tengah hari, Bejo sedang santai, istirahat, tentu sambil menikmati asap kretek kesukaannyanya. Datanglah Koh Aciong dengan mobil bak-nya. Sudah lama Koh Aciong ini customer setia Bejo. Koh Aciong punya toko di pasar desa. Di toko inilah gentong karya Bejo dijejer, ber-parade, dipajang untuk menarik minat ibu-ibu rumah tangga yang tengah belanja di pasar.
Pada saat transaksi jual-beli antara Koh Aciong dan Bejo, terjadilah dialog menarik antara keduanya.
“Jo, hari ini saya hanya bisa beli 4 gentong kamu yang sudah jadi. Gentong lainnya kan masih basah!”
“Ya ga apa-apa Koh! Hanya itu yang sudah siap koq.”
“Kang, kenapa ga bikin gentong lebih banyak lagi? Belakangan lagi bagus nih pasarannya.”
“Ah, untuk apa Koh bikin banyak-banyak? Saya kan lebih nikmat bikinnya jika sambil dihayati…karena saya lebih menikmati pekerjaannya ketimbang hasil akhirnya.”
“Jo, kamu ini gimana sih! Kalo kamu bisa bikin banyak, kan bisa jual banyak juga. Nantinya kamu dapat uang lebih banyak kan!”
“Terus, nanti uang-nya untuk apa Koh?”, kata Bejo yang mulai bingung kemana arah pembicaraan Koh Aciong kali ini.
“Nanti uangnya Bejo kumpulin, terus kan Bejo bisa investasi, bangun pabrik, pekerjakan banyak orang, menggaji staff, masuk deh Bejo ke era produksi massal.”
“Untuk apa semua itu Koh?”, Bejo tambah bingung.
“Ya jelas dong…Bejo kan bisa memperluas usaha, ya akhirnya bisa mendapat lebih banyak untung…”
“Terus…?”
“Ya terus kalo semua sudah dijalankan orang lain yang bekerja untuk Bejo, Bejo kan tinggal enak…Bejo kan bisa santai!”
Bejo tertegun dengan provokasi Koh Aciong kali ini. Tapi dengan lirih Bejo berkata,
“Ah Koh, untuk apa repot-repot begitu. Toh sekarang aja saya sudah bisa santai gini koq…”
“Dasar…otak bebal…”, Cuma itu terucap dalam hati Koh Aciong.
Dialog imajiner diatas hanya gambaran sederhana dari dua masa yang sekarang kita alami bersamaan. Kita sedang gamang apakah akan mengikuti pola “modern” (seperti Koh Aciong) ataukah pola “tradisional” (seperti Bejo). Pola pertama demikian mantap terus maju melesat, mengejar pertumbuhan, meng-eksplorasi alam dan sumber daya dengan kecepatan tinggi bak mobil Formula 1 di sirkuit balap, dengan sedikit mempertimbangkan keterbatasan alam. Sedang pola kedua seakan ingin kembali kepada ke-syahdu-an hidup, berkarya dengan hati, bersatu dengan alam dan lingkungan.
Kita harus memilih salah satu diantara keduanya atau dengan bijak kita menciptakan pilihan ketiga, yaitu berupaya keras melakukan sintesa antara keduanya?
Setiap pilihan yang diambil, tentu ada resikonya. Akan tetapi tetap kita masih mempunyai kuasa karena pilihan ada ditangan kita…tentu dengan memperhatikan kemaslahatan anak-cucu kita di masa datang…
Langganan:
Postingan (Atom)